NGGAK ADA YANG NAMANYA PACARAN ISLAMI! (Apalagi yang nggak Islami)
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Menempelkan
label Islami memang mudah. Namun ketika yang dilekati adalah hal-hal
yang menyimpang dari ajaran Islam, maka perkaranya menjadi berat
pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`an yang mulia:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan
manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat
perbuatan mereka, mudahan-mudahan mereka mau kembali ke jalan yang
benar.” (Ar-Rum: 41)
‘Ala`uddin
Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi rahimahullahu yang masyhur
dengan sebutan Al-Khazin menyatakan dalam tafsirnya terhadap ayat di
atas. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut”, karena kesyirikan
dan maksiat tampaklah kekurangan hujan (kemarau) dan sedikitnya tanaman
yang tumbuh di daratan, di lembah, di padang sahara yang tandus dan di
tanah yang kosong. Kurangnya hujan ini selain berpengaruh pada daratan
juga membawa pengaruh pada lautan, di mana hasil laut berupa mutiara
menjadi berkurang. (Tafsir Al-Khazin, 3/393)
Kerusakan
banyak terjadi di darat dan di laut, berupa rusak dan kurangnya
penghidupan/pencaharian manusia, tertimpanya mereka dengan berbagai
penyakit dan wabah serta perkara lainnya karena perbuatan-perbuatan
rusak/jelek yang mereka lakukan. Semua itu ditimpakan kepada mereka agar
mereka mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas apa
yang mereka perbuat. Diharapkan dengan semua itu mereka mau bertaubat
dari perbuatan jelek mereka. Demikian kata Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di rahimahullahu dalam Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 634.
Demikianlah,
kerusakan dapat kita jumpai di mana-mana. Jangankan di kota besar,
bahkan di pedesaan sekalipun. Belum lagi musibah yang terjadi hampir di
seluruh negeri. Semua itu tidak lain penyebabnya karena dosa anak
manusia.
Abul
‘Aliyah rahimahullahu berkata, “Siapa yang bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala di muka bumi maka sungguh ia telah membuat
kerusakan di bumi. Karena kebaikan di bumi dan di langit diperoleh
dengan ketaatan.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/179)
Pergaulan
anak muda yang rusak merupakan salah satu penyebab kerusakan tersebut.
Hubungan pra nikah dianggap sah. Pacaran boleh-boleh saja, bahkan
dianggap suatu kewajaran dan tanda kewajaran anak muda.
Di
lembar ini, bukan hubungan mereka (baca: yang awam) yang ingin kita
bicarakan, karena telah demikian jelas penyimpangan dan kerusakannya!
Para pemuda pemudi yang katanya punya ghirah terhadap Islam, yang aktif
dalam organisasi Islam, training-training pembinaan keimanan dan
kegiatan-kegiatan Islami lah yang hendak kita tuju. Mungkin karena
kedangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam atau terlalu mendominasinya hawa
nafsu, mereka memunculkan istilah “pacaran Islami” dalam pergaulan
mereka. Bagaimana pacaran Islami yang mereka maukan? Jelas karena
diberi embel-embel Islam, mereka hendak berbeda dengan pacaran orang
awam/jahil. Tidak ada saling sentuhan, tidak ada pegang-pegangan, tidak
ada kata-kata kotor dan keji. Masing-masing menjaga diri. Kalaupun
saling berbincang dan bertemu, yang menjadi pembicaraan hanyalah
tentang Islam, tentang dakwah, tentang umat, saling mengingatkan untuk
beramal, berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengingatkan
negeri akhirat, tentang surga dan neraka. Begitu katanya!
Pacaran
yang dilakukan hanyalah sebagai tahap penjajakan. Kalau cocok,
diteruskan sampai ke jenjang pernikahan. Kalau tidak, diakhiri dengan
cara baik-baik. Dulu penulis pernah mendengar ucapan salah seorang
aktivis mereka dalam suatu kajian keIslaman untuk mengalihkan anak-anak
muda Islam dari merayakan Valentine Day, “Daripada pemuda Islam,
ikhwan sekalian, pacaran dengan wanita-wanita di luar, yang tidak
berjilbab, tidak shalihah, lebih baik berpasangan dengan seorang
muslimah yang shalihah.”
Darimanakah
mereka mendapatkan pembenaran atas perbuatan mereka? Benarkah mereka
telah menjaga diri dari perkara yang haram atau malah mereka terjerembab
ke dalamnya dengan sadar ataupun tidak? Ya, setanlah yang
menghias-hiasi kebatilan perbuatan mereka sehingga tampak sebagai
kebenaran. Mereka memang -katanya- tidak bersentuhan, tidak pegangan
tangan, tidak ini dan tidak itu… Sehingga jauh dan jauh mereka dari
keinginan berbuat nista (baca: zina), sebagaimana pacarannya para
pemuda-pemudi awam/jahil yang pada akhirnya menyeret mereka untuk
berzina dengan pasangannya. Na’udzubillah!!! Namun tahukah mereka
(anak-anak muda yang katanya punya kecintaan kepada Islam ini) bahwa
hati mereka tidaklah selamat, hati mereka telah terjerat dalam fitnah
dan hati mereka telah berzina? Demikian pula mata mereka, telinga
mereka?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ
الْمَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ
ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya
Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina1. Dia akan
mendapatkannya, tidak bisa tidak. Maka, zinanya mata adalah dengan
memandang (yang haram) dan zinanya lisan adalah dengan berbicara.
Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no.
6243 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ
عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكلامُ، وَالْيَدُ
زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan
atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa
tidak. Kedua mata itu berzina, dan zinanya dengan memandang (yang
haram). Kedua telinga itu berzina, dan zinanya dengan mendengarkan (yang
haram). Lisan itu berzina, dan zinanya dengan berbicara (yang
diharamkan). Tangan itu berzina, dan zinanya dengan memegang. Kaki itu
berzina, dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan).
Sementara, hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan
yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Makna dari hadits di atas adalah
anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Maka di antara mereka ada
yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke
dalam kemaluan yang haram (untuk dimasuki karena bukan pasangan
hidupnya yang sah, pent.). Dan di antara mereka ada yang zinanya secara
majazi (kiasan) dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan zina
dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan
di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya,
atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk
melihat zina, atau untuk menyentuh wanita non mahram atau untuk
melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita non mahram dan
semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk
zina secara majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau
mendustakannya. Maknanya, terkadang ia merealisasikan zina tersebut
dengan kemaluannya, dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan
tidak memasukkan kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram, sekalipun
dekat dengannya.” (Syarhu Shahih Muslim, 16/206)
Dengan
pacaran yang mereka beri embel-embel Islam, adakah mereka dapat
menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram? Sementara
memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) atau laki-laki ajnabi termasuk
perbuatan yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah
(wahai Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka,
yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita
yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka
dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Tidakkah
mereka tahu bahwa wanita merupakan fitnah yang terbesar bagi
laki-laki? Sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah
aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki
daripada fitnahnya wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no.
6880)
Di
samping itu, dengan pacaran “Islami” ala mereka, mereka tentu tidak
akan lepas dari yang namanya khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis)
dan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa
adanya hijab/tabir penghalang).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali
tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan
Muslim no. 3259)
Al-Qadhi
Iyadh rahimahullahu berkata, “Wanita adalah fitnah, sehingga laki-laki
ajnabi dilarang bersepi-sepi dengannya. Karena jiwa-jiwa manusia
diciptakan punya kecenderungan/syahwat terhadap wanita, dan setan akan
menguasai mereka dengan perantaraan para wanita.”
Beliau
juga mengatakan bahwa wanita adalah aurat yang sangat urgen untuk
dijaga dan dipelihara. Dan mahramnya sebagai orang yang memiliki
kecemburuan terhadapnyalah yang akan melindungi dan menjaganya.
(Al-Ikmal, 4/448)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Adapun bila seorang laki-laki
ajnabi (asing) berdua-duaan dengan wanita ajnabiyah (asing/non mahram) tanpa ada orang ketiga
bersama keduanya, maka hukumnya haram menurut kesepakatan ulama.
Demikian pula bila bersama keduanya hanya ada seseorang yang biasanya
orang tidak sungkan/tidak merasa malu berbuat sesuatu di hadapannya
karena usianya yang masih kecil, seperti anak laki-laki yang baru
berumur dua atau tiga tahun dan yang semisalnya. Karena keberadaan orang
seperti ini sama saja seperti tidak adanya.” (Al-Minhaj, 9/113)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah
sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita
melainkan yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1171,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi)
Karena bahayanya fitnah wanita dan bersepi-sepi dengan wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai memperingatkan:
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati
kalian masuk ke tempat para wanita!” Berkatalah seseorang dari
kalangan Anshar, “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda dengan ipar?”
Beliau menjawab, “Ipar adalah maut.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan
Muslim no. 5638)
Ipar
di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-lakinya. Makna
“Ipar adalah maut”, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, bahwa
kekhawatiran terhadap ipar lebih besar daripada orang selainnya.
Kejelekan bisa terjadi darinya dan fitnahnya lebih besar. Karena
biasanya ia bisa masuk dengan leluasa menemui wanita yang merupakan
istri saudaranya atau istri keponakannya, serta memungkinkan baginya
berdua-duaan dengan si wanita tanpa ada pengingkaran, karena dianggap
keluarga sendiri. Beda halnya kalau yang melakukan hal itu laki-laki
ajnabi yang tidak ada hubungan keluarga dengan si wanita. (Al-Minhaj,
14/ 378)
Ketika
Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu
ditanya tentang hubungan kasih antara laki-laki dan perempuan yang
terjalin sebelum zawaj, beliau menjawab, “Bila yang dimaukan penanya,
sebelum zawaj adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya
akad nikah, maka tidak ada dosa tentunya. Karena dengan adanya akad
berarti si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum dukhul. Namun
bila yang dimaksud sebelum zawaj adalah sebelum akad nikah, baru
pelamaran atau belum sama sekali, maka yang ini haram. Tidak boleh
dilakukan. Tidak diperkenankan seorang lelaki bernikmat-nikmat dengan
seorang wanita ajnabiyah, baik dalam ucapan, pandangan, maupun khalwat.”
(Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)
Seorang
laki-laki yang telah resmi melamar seorang wanita sekalipun, ia tetap
harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterimanya
pinangannya tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan
wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas telepon,
bebas sms, bebas chatting, ngobrol apa saja. Karena hubungan keduanya
belum resmi, si wanita masih tetap ajnabiyah baginya. Lalu apatah lagi
orang yang baru sekadar pacaran belum ada peminangan, walaupun
diembel-embeli kata Islami?
Ada
seorang lelaki meminang seorang wanita. Di hari-hari setelah
peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar
bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita
memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita,
namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun
bacaan Al-Qur`an. Ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu
dimintai fatwa tentang hal ini, beliau menjawab, “Hal seperti itu tidak
sepantasnya dilakukan. Karena perasaan si lelaki bahwa wanita yang
duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan
syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak
perempuan yang dimiliki adalah sesuatu yang haram. Dan sesuatu yang
mengantarkan kepada keharaman, haram pula hukumnya.” (Fatawa Asy-Syaikh
Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/748)
Permasalahan
senada ditanya kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah
Al-Fauzan hafizhahullah, hanya saja pembicaraan si lelaki dengan si
wanita yang telah dipinangnya tidak secara langsung namun lewat
telepon. Beliau pun memberikan jawaban, “Tidak apa-apa seorang
laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya,
bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan
dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya
fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita,
maka itu lebih baik dan lebih jauh dari keraguan/fitnah.
Adapun
pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara
pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung lamaran di antara mereka,
namun hanya bertujuan untuk saling mengenal -sebagaimana yang mereka
istilahkan- maka ini mungkar, haram. Bisa mengarah kepada fitnah dan
menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka
janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga
berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan
ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang
wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali
bila ada kebutuhan, dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada
fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh
macam-macam).
Ulama
telah menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram melakukan talbiyah
tanpa mengeraskan suaranya. Dan di dalam hadits disebutkan:
إِذَا أَتَاكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ، فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتَصْفِقِ النِّسَاءُ
“Apabila
datang pada kalian sesuatu dalam shalat kalian, maka laki-laki
hendaklah bertasbih dan wanita hendaknya memukul tangannya.”
Hadits
di atas termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak semestinya
memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, kecuali
dalam keadaan-keadaan yang dibutuhkan sehingga ia terpaksa berbicara
dengan laki-laki dengan disertai rasa malu. Wallahu a’lam.” (Al-Muntaqa
min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/163,164)
Kita
baru menyinggung pembicaraan via telepon ataupun secara langsung
Lalu
bagaimana bila pemuda-pemudi berhubungan lewat surat?
Asy-Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman dalam Fatawa Al-Mar`ah (hal. 58) ditanya,
“Bila seorang lelaki melakukan surat-menyurat dengan seorang wanita
ajnabiyah, hingga pada akhirnya keduanya saling jatuh cinta, apakah
perbuatan ini teranggap haram?” Beliau menjawab, “Perbuatan seperti itu
tidak boleh dilakukan, karena dapat membangkitkan syahwat di antara dua
insan. Dan syahwat tersebut mendorong keduanya untuk saling bertemu
dan terus berhubungan. Kebanyakan surat-menyurat seperti itu
menimbulkan fitnah dan menumbuhkan kecintaan kepada zina di dalam hati.
Di mana hal ini termasuk perkara yang menjatuhkan seorang hamba ke
dalam perbuatan keji, atau menjadi sebab yang mengantarkan kepada
perbuatan nista. Karenanya, kami memberikan nasihat kepada orang yang
ingin memperbaiki dan menjaga jiwanya agar tidak melakukan
surat-menyurat yang seperti itu dan menjaga diri dari pembicaraan
dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. Semuanya dalam rangka menjaga
agama dan kehormatannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang memberi
taufik.”
Bila
ada yang berdalih bahwa isi surat-menyurat mereka jauh dari kata-kata
keji, tidak ada kata-kata gombal dan rayuan cinta di dalamnya, apatah
lagi dalam surat menyurat tersebut dikutip ayat-ayat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka dijawab oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullahu, “Tidak boleh bagi seorang lelaki, siapapun
dia, untuk surat-menyurat dengan wanita ajnabiyah. Karena hal itu akan
menimbulkan fitnah. Terkadang orang yang melakukan perbuatan demikian
menyangka bahwa tidak ada fitnah yang timbul. Akan tetapi setan terus
menerus menyertainya, hingga membuatnya terpikat dengan si wanita dan si
wanita terpikat dengannya.”
Asy-Syaikh
rahimahullahu melanjutkan, “Dalam surat-menyurat antara pemuda dan
pemudi ada fitnah dan bahaya yang besar, sehingga wajib untuk menjauh
dari perbuatan tersebut, walaupun penanya mengatakan dalam surat
menyurat tersebut tidak ada kata-kata keji dan rayuan cinta.” (Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, 2/898)
Demikianlah… Lalu, masihkah ada orang-orang yang memakai label Islam untuk membenarkan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran?
Wallahul musta’an.
Footnote:
1
Yakni yang namanya zina itu tidak hanya diistilahkan dengan apa yang
diperbuat oleh kemaluan, bahkan memandang apa yang haram dipandang dan
selainnya juga diistilahkan zina. (Fathul Bari, 11/28)
Dikutip dari:: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=638
Komentar
Posting Komentar